BORGOL.info, MAROS | Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa (HPPMI) Maros Komisariat Unhas-PNUP menaruh perhatian pada polemik lahan pembangunan pos polantas di Dusun Kappang, Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.
Mereka menilai kisruh yang sudah berjalan sekitar satu tahun itu segera diakhiri. Bupati Maros, Chaidir Syam diminta mengambil langkah bijaksana dengan berkoordinasi dengan Ditlantas Polda Sulsel agar mencari lahan lain.
Permintaan tersebut tertuang dalam surat somasi yang HPPMI Komisariat Unhas-PNUP layangkan kepada Bupati Maros, Chaidir Syam dan Direktur Direktorat Lalu Lintas Polda Sulsel, Kombes Pol Faizal.
Dalam surat yang diteken ketua dan sekretaris HPPMI Komisariat Unhas-PNUP, Ahmad Fauzan dan Nurul Amaliah A Natsir itu, mereka meminta pemerintah daerah dan kepolisian menghentikan kegaduhan.
Hidayat, penanggung jawab teknis advokasi masyarakat tersebut, menuturkan, polemik pembangunan pos polantas sudah cukup lama bergulir dan menimbulkan keresahan sosial.
“Serta rawan menimbulkan konflik horizontal,” tuturnya, Kamis, 11 Mei 2023.
HPPMI Komisariat Unhas-PNUP pun merilis hasil kajiannya. Salah satunya mereka menemukan adanya potensi konflik sosial besar di akar rumput.
“Makanya, kami meminta Pemerintah Kabupaten Maros dan Ditlantas Polda Sulsel mencari lahan alternatif. Itu bisa menjadi jalan tengah untuk mengakhiri kisruh yang terjadi di masyarakat,” imbuhnya. Apalagi, lanjutnya, keluarga pemilik lahan juga tak ingin memiliki lahan itu lagi. Mereka hanya ingin lahan itu tetap jadi ruang publik, ruang terbuka dengan fungsingnya sebagai sarana olahraga.
HPPMI juga menilai Pemerintah Kabupaten Maros dan Ditlantas Polda seharusnya bisa mengatasi persoalan ini dengan cepat dan tepat serta tidak mengorbankan masyarakat.
HPPMI juga mendesak Bupati Maros mengevaluasi Kepala Desa Labuaja sebagai tokoh pemerintah lokal yang seharusnya bersikap netral dan mengayomi warga. Bukan sebaliknya.
Terakhir, kata Hidayat, Pemkab Maros dan Polda Sulsel serta Polres Maros harus bisa melindungi masyarakat dari ancaman dan teror.
“Mereka hanya memperjuangkan apa yang diyakininya benar, dengan menempuh jalur yang konstitusional dan santun. Tidak layak dihadapi dengan kekerasan,” ucapnya. (adi/bgl)